you're reading...
Buku, Sok Tahu

Perempuan vs Perempuan, Siapa Menang?

cover

Mungkin sampai kiamat pun persoalan perempuan takkan ada habisnya dan takkan pernah terselesaikan. Apalagi kalau hanya berbekal sebuah buku. Namun, bukan berarti hal itu tidak bisa diatasi atau dikurangi dan dalam hal ini, sebuah buku pun dapat memberi kontribusi. Jangankan sebuah buku, sepenggal kata-kata mutiara pun dapat berguna.

Kerangka itulah yang agaknya pas diterapkan untuk mengapresiasi buku karya Ellys Lestari Pambayun ini, Perempuan vs Perempuan: Realitas Gender, Tayangan Gosip, dan Dunia Maya (Penerbit Nuansa, Bandung, Cet.1 Januari 2009). Dengan begitu, kita tidak akan terlalu nyinyir menghendaki kedalaman pembahasan atau eksplorasi ide. Sebagai sebuah tawaran gagasan dan analisis, ada banyak makna yang dapat kita petik di sana. Bahkan baru pada sampul (belakang luar), kita sudah disuguhi hal itu.

“Perempuan harus keluar dari jaring-jaring laki-laki dan bangkit dengan gagah untuk melawan kekuasaan laki-laki atas dirinya yang tidak disadarinya. Sesama kaum perempuan sebenarnya bukanlah musuh, mereka hanya korban, sama seperti perempuan lainnya. Karena, musuh utama kita sebenarnya adalah laki-laki yang secara halus menjerumuskan kita dalam perseteruan antarperempuan secara dalam. Tak ada untungnya kita mendukung laki-laki, tapi mengorbankan sesama perempuan. Tapi, akan sangat menguntungkan jika perempuan bisa meraih perempuan lain untuk muncul ke permukaan gunung es agar tercipta suatu tatanan kehidupan yang lebih tercerahkan dan bermasa depan.”

Itu sebuah simpulan, ajakan, dan anjuran sekaligus yang di dalam buku ini didedahkan alasan serta fakta-faktanya. Mengapa demikian?

Perempuan vs perempuan adalah sebuah fenomena gunung es. Itulah alasannya. Artinya, konflik yang selama ini tampak ke permukaan hanyalah bagian kecil dari “pertempuran di antara perempuan”, sementara bagian kedalamannya merupakan lautan konflik yang sulit terselami.

Simpulan demikian sudah dicatat dan dikemukakan oleh Tara Roth Madden lewat buku klasiknya, Women vs Women (1987). Lalu, berbagai pakar dari berbagai pendekatan menguatkan pernyataan Madden itu. Dengan menggunakan berbagai perspektif seperti psikologi, sosiologi, atau komunikasi, mereka pun memandang konflik di antara perempuan sebagai benang kusut yang sulit diurai karena perempuan seringkali tidak jujur, tidak berani mengungkap hal yang sebenarnya, dan bisa jadi karena mereka menghindari konflik terbuka.

Masalah konflik antarperempuan (woman vs woman) itu memang menggemaskan sekaligus mencemaskan, sama dengan permasalahan gender yang berkubang di arena “pertempuran perempuan dengan laki-laki” (woman vs man) yang selama ini telah menjadi bagian wacana perempuan, bahkan pergulatan fisik mereka.

Menurut pendekatan komunikasi, konflik di antara perempuan kerap terjadi karena perempuan lebih menggunakan perasaan dalam mengomunikasikan sesuatu kepada orang lain (Tannen, 1986). Begitu pula menurut pandangan secara sosiologis terhadap konflik-konflik perempuan; bahwa hal itu karena perempuan kurang bisa mengelola strategi aliansi dan kompetisi di lingkungan mereka sendiri (Phillips, 1983).

Ambivalensi Pemikiran Perempuan

Konflik-konflik perempuan yang berada di bawah permukaan, sebagaimana disebut Madden (1987), menjadi makin rumit lantaran di dalam alam pikiran perempuan sendiri terdapat ambivalensi. Dari media kita dapat mengetahui bahwa ada banyak perempuan yang menyatakan diri lebih nyaman berada dalam dunia laki-laki dibandingkan dengan di lingkup perempuan. Dari artis Marilyn Monroe, misalnya, Natalie Portman hingga artis sinetron Virnie Ismail pernah menyatakan demikian. Dalam acara Dorce Show, Kamis, 9 November 2006, Virnie menyatakan bahwa dirinya lebih menyukai berteman dengan laki-laki karena laki-laki ia nilai dapat lebih memberikan rasa aman, lebih memanjakan, dan melindungi.

Tampaknya hal itu merupakan ambivalensi perempuan yang harus dicari solusinya. Di satu sisi, perempuan selalu mengusung isu-isu gender atau gerakan-gerakan yang mengarah pada tindakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan agar setara dengan laki-laki. Gerakan emansipatif dan pandangan male-oriented, yakni laki-laki sebagai sumber terjadinya subordinasi, marginalisasi, dan semua peran perempuan yang tak terwakilkan, mempertegas berlangsungnya pertempuran perempuan dengan laki-laki (woman vs man). Di sisi lain, terjadi pertempuran di antara perempuan (woman vs woman) yang ternyata tersimpan dan tersublimasi di dalam ruang yang sulit terselami, yaitu perasaan dan hati nurani.

Menyelami Kasus Konflik Antarperempuan

Ada banyak bentuk konflik atau persaingan antarperempuan. Mereka, misalnya, dapat terseret pada kasus persaingan “pedekate” (naksir) pada seorang laki-laki atau iri hati dengan promosi/jabatan teman di tempat kerja. Persaingan ini secara nyata pernah dialami oleh hampir semua perempuan dalam semua lingkungan.

Kisah-kisah fiksi atau kisah nyata yang difiksikan dalam buku atau film pun kerap mengungkapkan berbagai bentuk persaingan antarperempuan. Simaklah misalnya film Memoirs of A Geisha buah tangan sutradara Rob Mashall yang diangkat dari kisah nyata dalam novel laris tahun 1997 berjudul sama karya Arthur Golden, lulusan Harvard. Di dalamnya dikisahkan kehidupan geisha dengan latar belakang masyarakat yang menganggap perempuan ada hanya untuk menyenangkan laki-laki. Pihak lelaki justru digambarkan dengan halus, tanpa satu pun adegan kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Sebaliknya, perempuan digambarkan dapat melakukan apa saja, termasuk berlaku kejam, terhadap sesama perempuan untuk menjadi geisha paling terkenal, yang paling dapat menyenangkan laki-laki.

Lalu, ada juga kenyataan perempuan mampu menjadikan perempuan lain sebagai korban. Seorang calo tenaga kerja perempuan bernama Rina (samaran), misalnya, (Kompas, Minggu 15 Januari 2005, halaman 6) terlibat dalam sindikat calo pengiriman tenaga kerja ilegal serta perdagangan perempuan (woman trafficking) dan anak (ke Sabah, Malaysia) dengan memanfaatkan titik lemah Pos Lintas Batas Entikong dan Nunukan. Belum lagi berita-berita memiriskan tentang penyiksaan, penganiayaan, dan pembunuhan yang dilakukan perempuan terhadap perempuan lain, misalnya pada pembantu rumah tangga. Juga kejadian seorang ibu rumah tangga yang tega menjual gadis-gadis belia, bahkan anaknya sendiri, kepada mucikari demi mendapatkan sekepal uang.

Konflik antarperempuan ini juga tidak saja terjadi di ruang privat seperti anak kandung dimusuhi ibu kandung, majikan perempuan yang menyerang pembantu, seorang istri yang cemburu pada keponakan atau sepupu perempuan suaminya, tapi juga di ruang publik. Seorang dosen perempuan, misalnya, merasa iri atas kemampuan atau jabatan rekan perempuannya, seorang public relations perempuan merasa terancam posisinya hanya karena munculnya pegawai baru yang lebih cantik dan lebih muda, anggota DPR perempuan “berantem” dengan anggota DPR perempuan lain, seorang asisten deputi menteri melecehkan bawahan perempuannya atau rekan kerjanya, dan tak terhitung lagi kejadian lain serupa.

Memecah Gunung Es

Perempuan lahir karena kenyataan bahwa hidup ini berpasangan. Tapi, justru kelahiran perempuan itu melahirkan ketidakadilan bagi dirinya. Begitukah?

Harus diakui secara jujur, seringkali perempuan itu sendiri yang menjadikan keadaan bertambah buruk karena mereka terlalu memegang kredo bahwa perbedaan gender bersifat kodrati. Padahal, perbedaan gender itu suatu konstruksi sosio-budaya. Karena itu, kelahiran perempuan bukanlah stigmata dari penyebab terjadinya permasalahan di muka bumi ini.

Untuk menjawab tantangan ini dibutuhkan ketegasan dan keyakinan, baik melalui sikap-pandangan maupun tindakan para perempuan, untuk tidak menjadikan perempuan lain sebagai korban atau musuh. Tidak akan ada yang diuntungkan dari pertikaian di antara perempuan selain laki-laki. Kalah jadi abu, menang jadi arang, sebagaimana dikatakan Madden (1987), “However, when two men fight, one wins. When two women fight, both lose.”

Salah satu jalan keluar dari kerumitan ini adalah bahwa perempuan harus bisa mandiri (self support), tegar, dan bekerja keras untuk maju. Untuk mewujudkan upaya tersebut, perempuan harus menyatukan kesadaran dan aksi untuk membentuk suatu ikatan yang harmonis, sinergis, dan integratif di antara perempuan agar terlepas dari belenggu dunia patriarkis.

Masalahnya, persoalan pertikaian antarperempuan sampai saat ini tidak pernah ditarik keluar dari akarnya karena kendala ini tidak mengemuka secara formal. Padahal, kendala ini terus terinternalisasi dalam diri perempuan dalam wujud perilaku dan pemikiran mereka. Jadi, tidak salah bila Madden (1987) mengatakan bahwa the conflict is often just bellow the surface. Karena itu, problematika perempuan vs perempuan hendaknya perlu segera diangkat secara terbuka, jujur, berani, dan intens agar gunung es yang berdiri kokoh dan begitu dalam dapat segera terselami.

Akhirnya, sebagaimana kutipan pada bagian pembuka yang diambil dari sampul belakang buku ini, “Perempuan harus keluar dari jaring-jaring laki-laki dan bangkit dengan gagah untuk melawan kekuasaan laki-laki atas dirinya yang tidak disadarinya. Sesama kaum perempuan sebenarnya bukanlah musuh, mereka hanya korban, sama seperti perempuan lainnya. Karena, musuh utama kita sebenarnya adalah laki-laki yang secara halus menjerumuskan kita dalam perseteruan antarperempuan secara dalam. Tak ada untungnya kita mendukung laki-laki, tapi mengorbankan sesama perempuan. Tapi, akan sangat menguntungkan jika perempuan bisa meraih perempuan lain untuk muncul ke permukaan gunung es agar tercipta suatu tatanan kehidupan yang lebih tercerahkan dan bermasa depan.”

Semoga.

About Bahtiar Baihaqi

Sekadar ingin berbagi, dari orang awam, untuk sesamanya, orang awam pula dan mereka yang prokeawaman.

Diskusi

11 respons untuk ‘Perempuan vs Perempuan, Siapa Menang?

  1. sekedar mampir saja ya Pak, baca-baca

    @Silakan. Saya jg dah lama gak mampir ke tempat Mas Narno.

    Posted by sunarnosahlan | Maret 28, 2009, 11:25 am
  2. ini blog feminist….alah sy alamat karena ….hahhaha cauvinist banget. Tp tulisannya berat yah…cuma yg literet yg bakal bisa mengimbangi bacaan ini

    @Halah, dirimu ini, baca satu postingan ini saja kok langsung bilang ini blog feminis.
    Lha wong di header jelas2 ditulis blog awamologi kok.
    Memang sih awamologi itu selain bermakna pro pada orang biasa/awam, juga bisa berarti membela mereka yang marginal, tertindas, dll seperti itu. Nah, perempuan kan blum sepenuhnya merdeka dari ketertindasan, ketimpangan, dll, jadi ya masuk bagian dari awamologi.
    Aku kira klo feminis dimaknai seperti itu kan mestinya semua pihak juga mesti pro-feminis.
    Lagipula, sasaran tembak (musuh) dari perempuan di sini kan pihak-pihak yang menguasai atau mengorbankan mereka, baik laki-laki maupun perempuan. Kira2 begitulah pemahaman awamku.
    Btw, makasih dah mampir dan sudi berkomentar.

    Posted by uwiuw | Maret 28, 2009, 1:48 pm
  3. Pak, pernah saya disuruh Pry untuk beneran nulis. Tapi saya belum bisa nulis sebeaik Sang Awam 🙂

    @Halah, si bos nih. Mending ngirim menu baru mi JanDa-nya.

    Posted by achoey | Maret 28, 2009, 5:01 pm
  4. begitu post! begitu melegakan.. ah

    @Iki maksude opo, Pry. Walaupun cuma nyontek dari buku aslinya, aku ngos-ngosan je. Gak biasa ma yang “ruwet2” gini. Klo kamu keknya lebih lancar tuh.

    Posted by bogorbiru | Maret 28, 2009, 7:17 pm
  5. wah kutipan yang akhir jadi mak deg..
    Perempuan adalah musuh laki-laki?
    musuh tapi teman, teman tapi musuh
    seperti yin dan yang

    @Ya, bukan soal yin-yang sih menurutku. Karena yang pantas dimusuhi itu HANYA yang gak adil, eksploitator, dan semacamnya. Yang peduli, yang baik-baik ma sesama ya enggaklah.

    Posted by Apria | Maret 28, 2009, 9:04 pm
  6. *awam mode on
    sesekali niru gpp kan pak hehe

    @Ah ya boleh aja meski keawaman di sini tidak dimaksudkan untuk mendorong orang lain untuk terus dalam kondisi awam seperti itu (ketidaktahuan). Kondisi awam mesti diubah menjadi tidak awam, tapi mesti tetap merasa awam agar terus selalu berusaha menjadi tidak awam.
    Huahaha, 😀 mbulet, muter-muter, gak jelas blas.

    Posted by antown | Maret 31, 2009, 8:47 pm
  7. habis gelap terbitlah terang….kok sulit ada yang seperti itu lagi ya pak..

    @Ya, memang memerlukan perjuangan. Mungkin sekarang baru … habis gelap terbitlah byar pet….

    Posted by zenteguh | April 2, 2009, 1:36 am
  8. Mengapa perempuan mesti diversuskan dengan perempuan ya…Padahal menurut uraian di atas yang mesti “dihadapi” (saya memilih tidak menggunakan kata “dilawan”) adalah teman sejawat perempuan di dunia, yaitu pria.

    Selamat atas datangnya buku ini, menambah khasanah buku-buku gender.

    Posted by Rosita Tagor | April 2, 2009, 9:23 pm
  9. @Rosita Tagor:
    Iya sih Mba Ita, “musuh utama”-nya tetap laki-laki, sang teman sejawat. Tapi, memang, tetap ada fakta perempuan vs perempuan dan di balik setiap konflik sesama perempuan itu selalu ada faktor laki-laki. Begitu kira-kira yang bisa aku baca dari sang penulis.

    Posted by Bahtiar Baihaqi | April 4, 2009, 7:40 pm
  10. trimaksih telah ikut peduli dan meresensi buku ini.

    @Sama-sama Mas Elwa.

    Posted by mathori a elwa | Mei 29, 2009, 12:54 pm
  11. saya bisa tahu nomer bu ellys pambayun//

    @Masih nomor lama kok (081808695954), Mba Iroh. Wah, jadi keingetan, blum sempet kirim kabar PNPM-nya ke imel Mba Iroh.

    Posted by Iroh Rohayati | Januari 30, 2010, 7:58 pm

Tinggalkan Balasan ke achoey Batalkan balasan