you're reading...
Sok Tahu

Nabi, DPR, dan Politik

BERDASARKAN judulnya, tulisan ini mestinya berbicara memadai tentang ketiga hal itu. Tapi, di sini aku hanya mau menyinggung sekenanya. Langsung saja kita mulai.

Abdurrahman bin Abi ‘Uqail menuturkan kisah sebagai berikut. Suatu kali dia bersama sebuah rombongan delegasi mendatangi Nabi Muhammad SAW dengan sikap sombong dan menganggap Nabi sebagai orang yang paling mereka benci. Namun, sepulang dari pertemuan itu, mereka berbalik menempatkan Nabi sebagai orang yang paling mereka sukai.

Lho, kenapa bisa begitu?

Menurut penuturan Abdurrahman, salah seorang di antara mereka telah bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, mengapa kamu tidak meminta kepada Tuhanmu sebuah kerajaan seperti kerajaan yang dimiliki Nabi Sulaiman?”

Sembari tertawa, Rasul pun bersabda, “Barangkali bagi teman kalian ini di sisi Allah ada yang lebih baik dari kerajaan Sulaiman. Sesungguhnya tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan Dia memberikan kepadanya sebuah doa (yang dikabulkan). Di antara mereka ada yang menjadikan doanya ini untuk dunianya, lalu diberikan kepadanya. Di antara mereka ada yang menggunakan doa tersebut untuk menyiksa kaumnya ketika mereka mendurhakainya, lalu mereka binasa karena doa tersebut. Dan, sesungguhnya, Allah telah memberi aku sebuah doa (yang dikabulkan) dan aku menyimpannya di sisi Tuhanku sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat kelak.” (HR At-Thabrani)

Ah, “dasar” Nabi, dahsyat nian kau.**

ENTAH ada “setan” dari mana, tiba-tiba kok aku jadi teringat kepada para anggota DPR dan segenap pemimpin pemerintahan atau negara, yaitu mereka yang mewakili rakyat dan memegang amanah rakyat. Aku pun membatin sambil tersenyum entah kecut, asem, atau manis: seandainya saja perhatian mereka selalu tercurah untuk rakyat, bisa jadi keadaan akan berbeda, minimal jadi lebih baik.

Praktisnya, dalam perbandingan dengan paparan tentang Nabi tadi, mereka bisa melakukan hal ini. Saat berziarah ke Kota Suci semisal berumrah atau berhaji bagi yang muslim, mereka selalu menyempatkan diri berdoa untuk kesejahteraan rakyat yang diwakili atau dipimpinnya. Bahkan mestinya itu yang utama, bukan senantiasa berdoa demi kejayaan diri sendiri.

“Ah, berdoa buat diri sendiri aja empot-empotan, gak kunjung balik modal (setelah sekian banyak biaya amblas buat kampanye), boro-boro mendoakan orang lain. Itu mah urusan nanti aja kalau masa lima tahunan dah hampir habis. Itu juga kalau gak keburu sibuk untuk pemenangan pencalonan periode berikutnya.”

Huahaha … gubrakkk.**

ANJRIIIT, ternyata politik itu wajib. Itu karena fakta atau realitas politik sebenarnya sudah berlangsung sejak manusia hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Itu suatu keniscayaan yang alami.

Coba kita pikir-pikir, bukankah hidup bermasyarakat itu sesuatu yang alami? Adakah pihak-pihak yang memaksa, pada asal-mula kita hidup, untuk membentuk kelompok, mengatur segala urusan diri kelompok tersebut, dengan mematuhi segenap aturan bersama dan menjadikan figur-figur tertentu sebagai pengurus dan pemimpin kelompok? Adakah ini terbentuk karena pergulatan jenis survival of the fittest yang berkarakter dan berpijak pada “hukum” menang-menangan: siapa perkasa, dialah penguasa?

Entahlah. Tapi, fakta atau realitas keberlangsungan hidup manusia dalam wadah kebersamaan sebuah masyarakat adalah fakta politik yang tak terbantahkan. Meski di dalamnya terjadi konflik, pertempuran menang-kalah, hidup-mati, tetap saja pada dasarnya semua itu alami saja, buah dari berbagai interaksi antarmanusia yang naluriah saja. Lalu, seiring perkembangan kecerdasan manusia, akal budi turut memberi arti bagi segenap interaksi ini dan masyarakat yang terbentuk pun semakin berkembang.

Kalau kita pilah-pilah, interaksi antarmanusia itu dapat bersifat sebagai interaksi ekonomi (dari barter hingga jual beli), interaksi sosial (bertetangga, saling menolong), dan interaksi politik (berhubungan dengan siapa memimpin siapa, siapa mengatur siapa dengan aturan apa, siapa berkuasa dan ditaati). Interaksi antarindividu manusia dan kelompok inilah inti keberadaan masyarakat. Karena itu, jika secara spesifik kita bicara mengenai interaksi politik, itu sama artinya kita membicarakan sejarah manusia bermasyarakat, baik dalam cakupan sejarah (historis), sosiologis maupun antropologis.

Sejarah manusia secara teologis dimulai sejak Allah SWT menciptakan Adam dan Hawa berikut keturunannya pada generasi awal. Lalu, melalui konsep antropologi yang kita kenal, sejarah manusia pun dapat dipetakan. Sebagaimana disebutkan Koentjaraningrat, secara antropologis manusia sudah ada sejak zaman Paleosen, Eosen, Oligosen, Miosen, Pliosen (dari 50-an juta tahun lalu hingga 4 jutaan tahun lalu), zaman es, zaman prasejarah sampai zaman sejarah manusia “modern”.

Sejak zaman manusia “modern” terdahulu itu, yang telah dapat diketahui manusia kini, kehidupan bersama dalam bentuk masyarakat sudah berlangsung. Kita bisa memetakannya dengan memakai “lompatan cepat sejarah” (historical quantum leap). Ini bisa dimulai dari masyarakat zaman nabi-nabi setelah Adam AS, diikuti dengan masyarakat dalam berbagai peradaban Mesir Kuno di lembah Sungai Nil (3400 SM), masyarakat lembah Sungai Indus di India (di Mahenjo Daro dan Harappa 3000 SM), masyarakat Mesopotamia di hamparan Sungai Eufrat dan Tiris (Hamurabi di Babilonia 1800 SM), masyarakat lembah Sungai Kuning di Cina (1776 SM), dan masyarakat Arab Jahiliyah (sejak 650 SM hingga Nabi Muhammad SAW lahir pada 571 M).

Lalu kehidupan berpolitik masyarakat di Nusantara dimulai sejak zaman Kerajaan Kutai (400 M), Tarumanegara (500 M), Mataram Hindu (732 M), Sriwijaya (700–1400 M), Kediri (Airlangga, 1019 M), Singosari (Ken Arok, 1222 M), Majapahit (Raden Wijaya, 1293 M; Gajah Mada, 1331 M), Samudera Pasai (1297 M), Aceh (1514 M), Demak (1500 M), Makasar (1605 M), Ternate (1300 M), Tidore (1300 M), Banjar (1600 M), zaman penjajahan Belanda dan Jepang sampai kini 63 tahun sudah (hingga Agustus 2008) kita merasakan alam kemerdekaan Indonesia.

Ya, itulah fakta politik dalam kehidupan bermasyarakat. Jika ada masyarakat, politik pun muncul mengiringinya sebagai interaksi yang niscaya. Sebab, dalam sebuah masyarakat pasti akan ada yang jadi pemimpin dan dipimpin, ada kebijakan dan mekanisme kekuasaan untuk mengatur kehidupan bersama demi tercapainya tujuan masyarakat tersebut. Baik apakah interaksi di antara mereka itu dilakukan dalam bentuk sederhana ataupun kompleks.

Atas dasar fakta itu, seorang ahli ilmu politik Prof. Dr. Ramlan Surbakti menyatakan, “Kita tidak bisa lepas dari politik, baik secara sengaja terlibat atau sengaja tidak terlibat dalam kehidupan bermasyarakat.” Hal ini pun sejalan dengan simpulan Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk politik atau makhluk yang berpolitik (zoon politicon). Artinya, makhluk yang senantiasa berinteraksi (saling mengatur dan memimpin) satu sama lain.

Yang menjadi masalah kemudian adalah ketidaksesuaian antara hakikat fakta-realitas praktik berpolitik dengan persepsi politik tiap warga masyarakat. Jika yang pertama (realitas politik) bersifat objektif, yang kedua (persepsi politik) bersifat subjektif. Kesubjektifan ini dimungkinkan karena persepsi politik kita bergantung pada dua hal. Pertama, konsep kita tentang politik. Pada konsep inilah kesubjektifan terletak lantaran hal ini bergantung pada keyakinan dan ideologi seseorang. Kedua, kecermatan kita mengenali realitas politik sebagai sebuah kenyataan hidup manusia.

Pemahaman tentang konsep politik dapat ditingkatkan melalui pembacaan/pembelajaran atas buku-buku atau literatur politik. Adapun kecermatan atas realitas politik dapat dicapai melalui pengamatan yang intens atas realitas tersebut. Dengan melakukan keduanya diharapkan dapat dicapai kesesuaian antara hakikat fakta-realitas politik dengan persepsi politik kita. Hal itu penting dilakukan karena persepsi politik yang salah akan melahirkan perilaku politik yang salah, persepsi yang benar melahirkan perilaku yang benar pula. Misalnya, bagi Jenderal X, politik adalah perebutan kekuasaan. Maka, ia pun mengumpulkan kekuasaan, meraih kekuasaan, dan membagi-bagikan kekuasaan tersebut. Baginya, politik adalah kekuasaan dan lamanya dia dapat berkuasa.

Akan berbeda misalnya dengan Tuan Y yang berprinsip bahwa politik adalah pengaturan urusan rakyat. Maka, ia pun meraih kekuasaan dengan cara jujur dan melakukan pengaturan dengan berpegang pada prinsip yang benar.

Tentu saja hasilnya akan berbeda jika kedua orang itu berkuasa memimpin masyarakat. Karena itu, bisa dipahami kiranya ketika Khalifah Umar bin Khaththab RA berkata, “Tafaqqahuu qabla an tashuduu, ‘pahami oleh kalian (konsep politik) sebelum kalian berkuasa (berpolitik)’.” Pesan Khalifah tersebut tentu saja berkenaan dengan konsekuensi bahwa pemahaman kita yang salah tentang politik akan melahirkan tindakan politik yang salah. Begitu pula sebaliknya sebagaimana telah disebut.

Begitulah kira-kira penalaran tentang mekanisme kehidupan berpolitik masyarakat yang aku baca dari buku Political Quotient: Meneladani Perilaku Politik Para Nabi oleh M.D. Riyan (Penerbit Madani Prima, Cet. I April 2008). Lalu, soal kedahsyatan akhlak Nabi Muhammad aku kutip dari buku (terjemahan) Tawa dan Tangis: Antara Nabi dan Sahabat karya Usamah Na’im, M. Utsman, dan Chomis Said (Penerbit Akbar, Cet. I Februari 2006).

politicalquotient2 tawa_tangis-nabi

Jadi, pilihan menjadi golput saja tak cukup untuk melenyapkan kemestian kita berpolitik. Tapi, yang lebih penting dari hal ini adalah kebenaran persepsi atas politik sehingga bisa melahirkan tindakan politik yang benar. Paling tidak, mirip-mirip dengan perilaku Nabi (meski tulisan ini belum sampai pada penjelasan yang detail mengenai hal itu).

About Bahtiar Baihaqi

Sekadar ingin berbagi, dari orang awam, untuk sesamanya, orang awam pula dan mereka yang prokeawaman.

Diskusi

8 respons untuk ‘Nabi, DPR, dan Politik

  1. Pro awam!

    @Terima kasih, bos.

    Posted by islamarket.net | April 5, 2009, 8:28 am
  2. wah blognya keren pak. menikmati berkunjung di sini… salam kenal 😀

    @Keren (jawa): mudah geli. 😀
    Makasih Mas Dian, salam juga.

    Posted by mantan kyai | April 5, 2009, 4:00 pm
  3. Dasyat Pak

    Mengikuti kata demi kata membuatku teringat saat merubah haluanku dari anti politik menjadi mencoba melek politik.

    Aku pernah menangis haru saat mengetahui ada sosok politikus yang berupaya seperti Nabi tercinta, tentunya dengan segala keterbatasannya sebagai manusia akhir jaman.

    Ah, jika kau tahu sosoknya, mungkin kau pun kan melakukan hal yang sama. Tapi buat hati-hati yang buta, sulit untuk merubah serapah. Di mata mareka politikus seolah sama, sampah.

    Pak Awam, aku di sampingmu untuk belajar awamologi lagi 🙂

    @Makasih bos mau menemani aku untuk sama-sama belajar.

    Posted by achoey | April 5, 2009, 5:00 pm
  4. soal Nabi, gak usah dibahas lagi

    soal DPR, gak usah dibahas lagi (capek)

    Kalo soal politik, kira-kira punya kenalan orang DPP gak pak ya, saya pingin jadi politisi nih, capek di kantor ha..ha…

    @Hahaha, capek ya. Lah aku mah tinggal mendukung saja niat sampeyan jadi politisi. Tapi, nanti modalnya dimaksimalkan untuk rakyat aja ya, jangan dibuang-buang buat kampanye. Soal kenalan, kan mestinya mas teguh to yang kenal banyak orang2 besar. Kalo aku kan orang awam. 😀

    Posted by zenteguh | April 6, 2009, 12:56 am
  5. Aku pernah dengar cerita–tolong koreksi kalau salah, Nabi Sulaiman pernah ditawari tiga pilihan oleh Tuhan: harta, tahta, atau ilmu, lalu Nabi Sulaiman memilih ilmu. Hasilnya, ilmu diperoleh, demikian pula harta dan tahta.

    Bagaimana dengan kita (termasuk DPR)? Sepertinya, semangat mengejar harta dan tahta lebih tinggi daripada semangat mengejar ilmu.

    @Wah, betul Mas Shodiq, rasanya aku mesti bikin postingan khusus untuk menggarisbawahi pentingnya menomorsatukan ilmu daripada harta dan tahta. Kalau soal sahih-tidak atau benar-salahnya cerita Nabi Sulaiman itu, aku sendiri tak tahu persis.

    Posted by M Shodiq Mustika | April 6, 2009, 2:10 am
  6. Assallammualaikum wr.wb. Salam kenal and silaturahmi. Saya senang banyak mendapat pencerahan. Artikelnya sangat inspiratif sekali. Terus berkarya. And saya ingin sering terus berkunjung! Salam kenal restu http://public-claim.blogspot.com

    @Waalaikumsalam wr.wb. Salam juga, moga kita bisa sering saling bersilaturahmi. Makasih Restu.

    Posted by Restu | April 6, 2009, 11:12 am
  7. Assallammualaikum wrwb. Terimakasih atas ilmunya. Saya sanagt senang sekali bisa mengenal anda. Lain kali saya akan berkunjung lagi. Salam kenal http://public-claim.blogspot.com

    @Waalaikumsalam wr.wb. Makasih juga Restu. Moga kita bisa selalu bertaut.

    Posted by Restu | April 6, 2009, 11:17 am
  8. g jago banget mas seo ku

    @Yang pasti gak se-awam diriku.

    Posted by fransisca | April 7, 2009, 1:19 am

Tinggalkan Balasan ke Restu Batalkan balasan