archives

Calon Penghuni Surga

This category contains 8 posts

Militer Berhati Lembut

Melihat Gaza yang PALESTINIANS-ISRAEL/VIOLENCEmembara dan Palestina yang berduka, bahkan semestinya dunia pun meratapinya, aku rasanya tak bisa lain selain menganggap bahwa orang-orang yang dididik untuk berperang pastilah berhati garang. Gambaran yang paling nyata dari simpulan pendapatku ini ya ada pada kebrutalan pasukan (militer) Israel itu, yang meluluh-lantakkan Gaza itu. Padahal belum lama seorang Paus Benediktus XVI menyerukan pesan perdamaian Natal dari Vatikan. Paus pun berdoa untuk kedamaian di Timur Tengah. Namun orang-orang Yahudi (Israel) rupanya tuli terhadap seruan itu. Bahkan saat dunia tengah memasuki pergantian tahun (Hijriah) dan sebentar lagi tahun baru Masehi, segerombolan orang dari negeri kandidat perdana menteri Tzipi Livni meledakkan bom-bom di Palestina tanpa hati bertubi-tubi. Hari ini (Senin, 29 Desember 2008), misalnya, aku baca judul besar di halaman utama koran Indo Pos: “50 Ton Bom Timpa Masjid-Sekolah”. Ya, itu terjadi di Jalur Gaza. Korban tewas disebutkan telah melampaui angka 300 orang.

Yang lebih menjengkelkan lagi, kebiadaban itu sengaja dilakukan bukan untuk tujuan suci semisal jihad atau atas dasar ideologis semacam itu. Motifnya disebut-sebut lantaran bakal adanya pemilu di Israel, juga ada pengaruh pergantian kepemimpinan di AS ke tangan Barack Obama. Artinya sekadar untuk tujuan politis agar para kandidat pemimpin di Israel mendapat simpati pemilih dan menang pemilu. Subjudul berita di Indo Pos tadi dengan jelas menyebut hal itu: “Motifnya karena Pemilu dan Obama”. Sungguh keterlaluan.

Pertanyaanku kemudian, tak ada lagikah tersisa suara hati dari orang-orang Yahudi itu, pada elite pemimpin mereka, lalu khususnya pada pasukan perang mereka? Lalu benarkah orang-orang militer memang sudah benar-benar menjadi makhluk perang tanpa punya hati lagi?

Jawaban cepat dari pertanyaan itu langsung tertuju pada institusi militer di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ya, di tingkat dunia sebenarnya masih ada pasukan perdamaian PBB. Masih ada kata “perdamaian” di dunia ini. Lalu, lihatlah contoh nyata dari salah satu wakil pasukan ini yang kebetulan berasal dari Indonesia. Mereka baru selesai bertugas melaksanakan misi PBB itu di Lebanon, di bawah komando A.M. Putranto. Tangis anak-anak Lebanon pun pecah begitu mereka harus berpisah dengan satuan pasukan Putranto itu. Rupanya hati mereka telah tertambat pada getar perdamaian yang ditularkan Putranto dan anak buahnya. Mereka semua telah dapat berkomunikasi dengan bahasa hati yang indah. Aku pun terharu membaca kisah ini pada rubrik Sosok harian Media Indonesia edisi Rabu, 17 Desember 2008. Belum terlalu lama.putranto

Sejak awal mengemban misi PBB itu, Putranto sadar bahwa kawasan perang yang panas dan ganas pastilah membuat harga sebuah perdamaian amat mahal. Namun dengan tekad yang kuat, sang letkol dan 412 anak buahnya mampu menghadirkan suasana damai itu bagi mereka yang tinggal di daerah basis kelompok Hezbollah di Lebanon Selatan. Lewat kejelian dan kepekaan, Putranto mengemas berbagai bentuk interaksi sosial yang dipandang positif oleh warga setempat. Tak mengherankan bila kemudian pasukan Putranto, yaitu Satuan Tugas Batalion Infanteri Mekanis TNI Kontingen Garuda (Satgas Yonif Mekanis Konga) XXIII-B, mendapat tempat tersendiri di hati warga di sana. Bahkan anak-anak di sana pun merindukan kehadiran mereka.

“Tidak satu pun pelanggaran boleh terjadi,” kata Putranto menancapkan tekadnya.

Maka, berkat ketegasannya itu, Satgas Konga XXIII-B dapat menuntaskan seluruh tugasnya dengan menyandang status tanpa cela, zero accident.

“Bagi saya pribadi, status ini sangat luar biasa. Karena banyak kontingen dari negara lain mengalami hal sebaliknya. Padahal masa penugasan mereka lebih cepat ketimbang kami,” tuturnya.

Yang pasti, keprofesionalan serta pendekatan kultural dan nurani yang diterapkan pasukan Putranto mampu menghadirkan kekompakan pasukan serta penghargaan dan penghormatan warga setempat terhadap mereka. Padahal, menurut Putranto, jika dilihat sepintas, karakter orang-orang Lebanon itu begitu keras.

“Tetapi sejatinya mereka memiliki hati yang lembut dan rasa setia kawan tinggi. Hanya, itu baru tampak bila mereka telah memercayai orang yang ada di hadapannya,” sebut Putranto yang telah dikaruniai dua putri berusia remaja.

Pemahaman atas karakter dan situasi lokal yang sangat keras untuk ditaklukkan membuat Putranto memahami betul arti penting menguasai situasi tersebut. Pilihan strategi yang tepat akhirnya mampu merebut hati rakyat Lebanon.putranto-dan-anak-anaklebanon

Berbagai program pelayanan terhadap masyarakat setempat dilakukan. Semua aktivitas sosial diikuti, termasuk menghadiri undangan takziah. Seiring dengan itu, Putranto tak henti-hentinya memberikan wejangan kepada seluruh pasukan agar tak bertindak atau mengeluarkan perkataan yang dapat menyinggung perasaan warga setempat. Para prajuritnya ditekankan untuk sesegera mungkin memahami adat-istiadat setempat.

Putranto juga menyadari betapa peperangan telah berakibat buruk terhadap pertumbuhan mental anak-anak dan remaja di sana. Karena itu, dia gelar pula acara-acara yang bersifat hiburan dan edukatif untuk mereka. Dia datangkan mobil pintar (smart car) sebagai wahana tempat mereka belajar. Pertunjukan sulap pun kerap ditampilkan. Lalu, yang jadi rebutan anak-anak di sana adalah hadiah boneka beruang putih berukuran imut bernama Teddy Indobatt. Ini menjadi sentuhan lain bagi anak-anak yang terbiasa dan dibiasakan bermain perang-perangan itu. “Mencontoh apa yang mereka dengar dan alami di sekelilingnya,” ucap Putranto.pasukan-konga-xiiib-membagikan-boneka-teddy-indobatt-bagi-anak-lebanon_110208

Putranto dan pasukannya pun tak lepas dari ancaman bahaya akibat peperangan itu. Kentalnya warna pertempuran di Lebanon Selatan membuat mereka harus memasang kewaspadaan yang tinggi. Sebab, kelompok-kelompok garis keras yang sedang bertikai itu kerap mengarahkan sasaran aksinya kepada kontingen pasukan perdamaian.

Untungnya, komunikasi bahasa hati benar-benar dapat dilaksanakan Putranto, baik kepada pasukannya, warga setempat maupun terhadap keluarganya di Tanah Air. Beratnya beban tugas ternyata tidak membuatnya absen berkomunikasi dengan anak-anak dan istri di Indonesia. Terlebih bila kerinduan sedang melanda. Ayah Tika, 15, dan Lia, 10, ini pun mengaku punya resep istimewa untuk mengobati rasa rindu itu. Dia lakukan kegiatan masak-memasak dengan menu ala Indonesia. Putranto pun menularkan kegiatan ini, lengkap dengan resep-resepnya, kepada pasukannya.

“ Di sini, setiap kompi punya menu andalan. Ada kompi yang jago masak nasi rawon, nasi uduk, lontong kare, sup kepala ikan, rica-rica, ataupun nasi goring,” beber Putranto.

He he he, betul-betul bikin ngiler resep hati nurani ala Putranto dan pasukannya ini. Pantas saja anak-anak Lebanon menangis sesenggukan kala harus berpisah dengan mereka. Untuk yang ada di Tanah Air, agaknya bisa menghubungi mereka untuk mencicipi resep masakan para militer berhati lembut itu. Boleh dicoba rasanya.

Mereka yang Berjuang dengan Mata Kaki dan Mata Hati

Awalnya memang sebuah panggilan hati. Lalu mereka pun menggerakkan mata kakinya untuk memenuhi panggilan itu dengan terus berpegang pada panduan mata hati. Mereka adalah orang-orang yang (semenjak menemukan titik pencerahan) selalu membuka mata hatinya sehingga senantiasa peka terhadap panggilan hati dan sigap menggerakkan mata kakinya untuk memenuhi panggilan itu, untuk memberdayakan diri dan sesama. Mereka bisa siapa saja, tak terkungkung dalam batas agama. Bahkan, bisa jadi, dalam benak mereka tak ada pamrih surga. Maka, bila akhirnya mereka berhak mendapatkan surga masing-masing, itu sama sekali tak mereka ambil pusing.

Panggilan Hati, Jumat, 07 2008

panggilanhati

Ya, dalam episode Panggilan Hati, Jumat, bertanggal demikian yang aku baca di www.kickandy.com ditampilkan sosok-sosok berhati mulia itu. Mereka adalah orang-orang yang merasa terpanggil hati dan hidupnya untuk bisa bermanfaat bagi orang lain di sekitarnya. Orang-orang yang memiliki kepedulian yang tinggi dan mau berkorban waktu, harta, dan pikiran supaya bisa memberdayakan sesamanya.

Ada Tati Suprapti, ibu rumah tangga di daerah Kelapa Dua, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ibu yang akrab dipanggil dengan Bu Neneng oleh warga sekitarnya ini prihatin atas terbatasnya akses pendidikan usia dini dari anak-anak warga sekitar. “Wilayah Kelapa Dua kan di Jakarta, tapi ternyata masih sangat banyak warganya yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya,” ungkap Neneng. Hal ini terutama berlaku pada warga berprofesi informal seperti buruh cuci baju, tukang ojek, pemulung atau pembantu rumah tangga.

Bu Neneng pun merelakan garasi dan teras rumahnya sebagai tempat belajar anak-anak usia prasekolah dan taman kanak-kanak. Dia lalu mengajukan proposal bantuan ke sejumlah instansi atau perusahaan. Alhamdulillah, beberapa perusahaan memberinya bantuan dana. Berkat itu, Neneng bisa mendirikan sekolah dan taman bermain dua lantai di tanah miliknya yang kemudian dinamai Rumah Srikandi.

Dalam perkembangannya, para ibu yang menunggui anak mereka belajar pun diberi pelatihan dan keterampilan seperti memasak, pembuatan prakarya bahan ajar, kursus desain dan menjahit hingga keterampilan menguntungkan lainnya. Sementara para pemudanya diberi kesempatan pelatihan perbengkelan sepeda motor. Ada juga program anak asuh dengan melibatkan dukungan perusahaan asuransi. Ini terobosan terbaru yang dibuat Neneng Suprapti sebagai solusi keberlanjutan pendidikan anak-anak dari tingkat prasekolah hingga tingkat universitas.

Sosok teladan lain adalah Yovita Meta. Ia wanita yang mampu mengangkat taraf ekonomi dan sosial masyarakat sekitar dan melakukan pelestarian budaya lokal secara bersamaan. Kemiskinan, status sosial perempuan yang terpinggirkan serta ancaman punahnya kain tenun ikat khas di daerah Biboki, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur menggugah perasaannya. Menurutnya, penghargaan terhadap hasil pekerjaan perempuan Biboki sangat rendah. “Dulu, untuk selembar kain tenun ikat hanya dihargai seikat jagung atau uang 5 ribu rupiah,” kata Yovita. Hal ini mendorongnya mendirikan Yayasan Tafean Pah yang digunakan untuk menampung dan mengembangkan ketrampilan menenun kain ikat Biboki.

Dari hanya melibatkan 7 ibu-ibu dan janda, kini Yayasan Tafean Pah mampu memayungi sekitar 700-an penenun Biboki di seluruh kawasan Timor Tengah Utara. Selain meningkatkan keahlian menenun, Yovita juga mendidik mereka tentang strategi dan teknik-teknik pemasaran. Berkat kerja keras Yovita, saat ini kain tenun Biboki telah merambah berbagai daerah Indonesia, bahkan namanya telah mendunia. Kain tenun yang awalnya hanya seharga seikat jagung kini harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Bahkan pada 2003 lalu Yovita Meta dan para penenun Biboki mendapatkan penghargaan Prince Claus Award dari Belanda. Penghargaan bidang pembangunan dan kebudayaan ini diberikan sebagai pengakuan atas prestasi Yovita mengangkat derajat kaum perempuan Biboki, perekonomian warga Timor Tengah Utara, dan melestarikan budaya lokal Biboki.

Ada pula pria bernama Mulyadi Irawan. Ia merelakan pencapaian karir dan lingkungan yang nyaman di Jakarta demi para eks pecandu narkoba. Mulyadi melepaskan jabatan sebagai direktur operasi di Sheraton Hotel setelah merasa terlambat menyelamatkan salah seorang keponakan kesayangannya yang meninggal karena overdosis narkoba. Mulyadi mengajak istri dan anak-anaknya menyepi ke Gunung Pati. Daerah yang masih termasuk kawasan pinggiran hutan di kawasan Semarang Jawa Tengah. Di Gunung Pati, Mulyadi mendirikan sebuah rumah penampungan dan rehabilitasi pecandu narkoba yang diberi nama Rumah Damai.

Perjuangan Mulyadi Irawan untuk menyembuhkan para mantan pecandu narkoba tidaklah semulus bayangannya. Bahkan sempat tebersit keinginan Mulyadi untuk menutup Rumah Damai. Rasa frustasi hebat melandanya saat keinginan dan keikhlasannya berkorban dibayar oleh para penghuni dengan tidak sepantasnya. “Pernah suatu ketika saat sedang keluar rumah, saya kaget melihat ada petani tetangga kok mengenakan baju saya. Saat saya tanya, ternyata baju saya itu ditukar oleh anak-anak Rumah Damai demi sebungkus rokok. Bagitu juga barang-barang lain yang ada di rumah,” kenang Mulyadi. Namun saat akan menutup Rumah Damai, sebuah hal yang tak terduga membuatnya berubah pikiran dan membuang jauh-jauh rencananya. Hingga kini, Rumah Damai tetap berdiri dan mampu meluluskan lebih dari 400 orang mantan pecandu narkoba dari berbagai daerah di Indonesia dalam kondisi sembuh total. Benar-benar terbebas dari jeratan narkoba secara total.

Jembatan Kehidupan, Jumat, 17 Oktober 2008

jembatankehidupan

Pada episode bertajuk Jembatan Kehidupan ini, kita disuguhi kisah orang-orang yang tidak saja mampu menghadapi kehidupan yang semakin berat belakangan ini dengan cara-cara positif, tetapi juga sanggup mengulurkan tangan kepedulian kepada sesama. Salah satunya kisah tentang Soleh Muchsin dari Surabaya.

Sebagai guru yang sekian tahun tidak diangkat jadi pegawai negeri sipil atau sebagai seorang muslim yang tak setuju dengan adanya lokalisasi pelacuran, dia tidak frustrasi dan melakukan tindakan destruktif. Sebaliknya dia memilih cara yang membuat sebagian dari kita mungkin tidak percaya. Dengan segala keterbatasan, dia justru membangun madrasah gratis di sebelah lokalisasi pelacuran di kawasan Dupak, Bangunrejo, Surabaya, sebuah kawasan prostitusi yang terkenal dengan Gang Dolly-nya.

Setelah tampil di Kick Andy, Soleh Muchsin mendapat bantuan dari Program Satu Hati, yang diprakarsai oleh Pocari Sweat dan Kick Andy Foundation. Bahkan sebagian dari penonton Kick Andy juga tergerak untuk memberikan bantuan bagi Abah Muchsin ini.

Pada episode ini ditampilkan pula Mama Gisela Borowka, seorang perempuan asal Jerman yang selalu bersemangat untuk mengabdi kepada saudara-saudara kita para penderita lepra di Pulau Lembata dan Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, sejak 1963. Bahkan Gisela memprakarsai pendirian sebuah rumah sakit khusus bagi para penderita kusta di sana. Hebatnya, ia berrtekad menghabiskan sisa hidupnya untuk membantu para penderita dan mantan penderita lepra atau kusta ini.

Satu Bumi, Satu Hati, 04 Oktober 2008

satubumisatuhatiBumi yang sedang “sakit” akibat Global Warning turut menggerakkan pula kepedulian para musisi Indonesia untuk mengurangi efek pemanasan global ini. Glenn Fredly dan sejumlah musisi lain, misalnya, membentuk Green Music Foundation, sebuah lembaga sosial yang membawa misi kepedulian pada lingkungan dan kondisi bumi yang semakin kritis.

Ada juga keteladanan dari orang awam biasa dalam hal kepedulian lingkungan ini. Adalah Saekan, seorang warga lereng Gunung Wilis, Madiun, yang berhasil menggerakkan warga untuk melawan ketandusan di wilayahnya.

Gunung Wilis adalah sebuah desa tandus di tahun 1970-an saat Saekan datang ke desa itu setelah menikahi gadis setempat. ”Pertama kawin saya sampai gak mandi lima hari karena buat minum aja gak ada, apalagi buat mandi,” ujar Saekan.

Namun itu masa lalu, katanya, sekarang desanya sudah berubah banyak: tak hanya memiliki sumber air, tapi juga masyarakatnya sudah makmur. Tentu saja, ini bukan jalan yang mudah. Karena Saekan harus memulai segalanya dari nol.

Untuk kepeduliannya itu, Saekan pun mendapat banyak penghargaan sebagai penyelamat lingkungan. Tahun 2008 ini ia memperoleh penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

”Pak Saekan, bagaimana rasanya ketemu Presiden?” tanya Andy F. Noya. Saekan pun menjawab lantang, “Saya itu tak punya harapan dipanggil siapa pun. Saya melakukan ini untuk anak cucu kita jangan sampai mereka hidup susah!” Jawaban Saekan pun mendapat sambutan meriah dari audiens Kick Andy yang hadir di Grand Chapel, Lippo Karawaci.

pengabdiantanpabatasPengabdian Tanpa Batas, Jumat, 05 September 2008

Empat tamu Kick Andy pada episode ini adalah beberapa orang dengan komitmen pengabdian yang mungkin sudah langka saat ini.

Yang pertama adalah bidan Eros Rosita. Sosok ini sudah aku bahas tersendiri pada postingan terdahulu . Perihal mengenainya di Kick Andy ini pun tak banyak berbeda. Bagi yang ingin menambah kemantapan mengenainya dapat baca langsung di www.kickandy.com.

Selanjutnya adalah seorang bidan juga, yang juga memiliki panggilan hati untuk bisa melayani kesehatan orang lain tanpa pamrih apa pun. Bidan bernama Siti Aminah ini mengaku sejak kecil saat ikut pramuka, setiap melihat orang-orang sekitarnya menderita penyakit, berketetapan untuk bisa mengobati mereka. “Aku waktu kecil ikut pramuka, lihat orang-orang pada korengan, kudisan, hidung meler, atau luka-luka, selalu merasa trenyuh sendiri. Ya udah, aku janji ke diriku sendiri, nanti kalau sudah dewasa jadi orang yang akan melayani dan mengobati mereka, ndak dibayar juga ndak apa-apa,” ungkap bidan asal Mojokerto Jawa Timur ini. Janji itu digenapi Aminah dengan mengambil jurusan kesehatan masyarakat saat kuliah. Setelah lulus, ikatan dinas ke hampir seluruh penjuru Indonesia dilakoninya dengan sepenuh hati. Melayani pasien di daerah-daerah kawasan miskin dan terpencil, yang kadang tak mampu membayar, dijalaninya dengan tulus dan senang hati. “Waktu di daerah, pasien-pasienku kan orang-orang kalangan bawah, jadi ya bayarnya seadanya mereka. Lagi musim durian atau rambutan, ya seluruh rumah pasti bakal penuh dengan durian dan rambutan, atau kalo lagi jalan di pasar, tas pasti bakal penuh dengan sayuran, ikan dan barang-barang jualan lainnya dari mereka. Sampai adikku bercanda, ya udah kalau lewat situ, bawa tas yang buesar aja,” kekeh bidan Aminah mengenang masa tugasnya di luar Pulau Jawa.

Kini bidan Aminah memilih Cilincing, kecamatan kumuh di kawasan Jakarta Utara, dan kampung nelayan di kawasan Bekasi sebagai tempat pengabdiannya. Berbagai tantangan dan peristiwa yang berkaitan dengan keterbatasan ekonomi pasiennya dan minimnya pelayanan kesehatan dari pemerintah setempat juga terjadi di sini. Misalnya pemeriksaan kesehatan dan pengobatan tanpa bayaran hingga mengeluarkan biaya dari kantong pribadi demi membayar obat-obatan pasiennya. Bahkan, bidan Aminah rela mengubah mobil pribadinya sebagai mobil ambulans dan disetirinya sendiri setiap hari demi mengunjungi dan mengangkut pasien-pasiennya. Kepedulian yang tinggi pada lingkungan sekitarnya kini bertambah pada pendidikan anak-anak warga miskin. Untuk itu, bidan Aminah telah mendirikan sekolah TK gratis bagi anak-anak di sekitar tempat praktiknya.

Tamu berikutnya adalah Haji Soleh Muchsin yang lebih akrab dipanggil Abah Muchsin. Ini episode lebih awal yang menampilkan Abah Muchsin. Penampilan lebih baru mengenainya ada di episode Jembatan Kehidupan.

Begitu pula dengan sosok perempuan eks warga negara Jerman bernama Gisela Borowka atau yang lebih dikenal sebagai Mama Barat atau Mama Putih di kawasan Nusa Tenggara Timur. Profilnya pun ditampilkan kembali di episode Jembatan Kehidupan.

Mendobrak Kemustahilan, Senin, 28 Juli 2008

mendobrakkemustahilanPada episode ini ditampilkan orang-orang yang teguh hati, tekun, gigih, dan dalam kondisi tertentu dituntut harus cuek. Dengan bekal itu, mereka mampu menjalani misi yang semula dianggap orang lain sebagai hal mustahil, tetapi pada akhirnya malah berhasil.

“Dasar orang stres!” Celaan seperti itulah yang diterima pasangan paman dan keponakan, Sunarya dan Slamet Hadi, dari Dusun Sungai Tengah, Jember, Jawa Timur saat pertama kali melaksanakan misinya pada 1994.

Semangat mulia mereka untuk mencari solusi penerangan bagi desanya yang selama bertahun-tahun tak terjangkau listrik negara harus menghadapi sikap pesimistis dari sebagian besar tetangganya. Bagi sebagian besar warga Dusun Sungai Tengah, upaya membuat listrik dengan cara memahat tebing bukit berbatu keras demi mengalirkan air ke dusun dan menciptakan listrik dari air benar-benar tak pernah sampai di pemikiran mereka. Sebuah kerja berat yang oleh dua orang ini dilakukan awalnya secara coba-coba trial and error saja karena mereka tak berbekal pengetahuan teknik yang memadai soal teknologi pembangkit listrik.

Namun berkat kegigihan dan kerja keras tak kenal lelah Sunarya dan Slamet Hadi, para warga yang pertama kali mencibir justru menjadi pihak yang pertama kali meminta aliran listrik ke rumahnya. Listrik berdaya 5.000 watt dari kincir air memang berhasil diciptakan duet “pak de” dan “ponakan” ini untuk menerangi sekitar 150 rumah di Dusun Sungai Tengah. Bahkan kegigihan pasangan ini akhirnya memotivasi sekitar 100 warga lainnya untuk mengikuti jejak mereka membuat generator pembangkit listrik mini di rumah masing-masing.

Sementara bagi warga Bagendit Garut Jawa Barat, iuran sesendok beras dan uang seratus rupiah per hari mampu diubah menjadi bangunan madrasah atau sekolah, masjid, jalan beraspal hingga fasilitas umum dan sosial desa. Warga desa Bagendit mampu mengubah wajah desanya menjadi lebih indah dan sejahtera secara swadaya tanpa campur tangan bantuan dari pemerintah. Semuanya berawal dari tradisi turun-temurun iuran sesendok beras per hari yang tetap dipatuhi setiap warga,untuk dikumpulkan sebagai dana swadaya masyarakat. Tekad untuk meneruskan tradisi ini dilaksanakan oleh kepala desa Bagendit yang juga mewarisi jabatan itu dari ayahnya, Yayan Sofyan.

Didukung oleh sejumlah tokoh pemuda desa, muncul inovasi untuk menambahi iuran sesendok beras dengan iuran uang seratus rupiah per hari. Dengan pengelolaan yang baik, dana tersebut mampu dikembangkan selain sebagai dana pembangunan desa, juga sebagai dana simpan pinjam, dana asuransi kesehatan hingga dana beasiswa sekolah ke tingkat SMA.

Kemudian bagi Abu Wenna, petambak dari Desa Lauwa, Wajo, Sulawesi Selatan, abrasi pantai di daerahnya yang mencapai 17 meter per tahun benar-benar menjadi kepedulian utamanya. Tanpa memedulikan celaan tetangganya yang menganggapnya sebagai orang gila, Abu Wenna sendirian menyusuri pantai Teluk Bone dan menanami pesisir pantai dengan beragam tanaman mangrove pada 1994. “Semua orang berpendapat bahwa menanam mangrove sia-sia untuk mencegah abrasi, menurut mereka harusnya dengan pembangunan beton untuk memagari pantai. Tapi bagi saya, tanaman mangrove-lah yang paling tepat untuk menjaga pantai dari pengikisan,” papar Abu Wenna.

Alhasil, sikap cuek Abu Wenna untuk terus melaksanakan misinya berujung dengan sejumlah keberhasilan. Abrasi pantai di kawasan Teluk Bone telah berkurang drastis sepanjang 17 km berkat rerimbunan tanaman mangrove yang ditanam Abu Wenna. Tak hanya itu, kerja kerasnya menyelamatkan pantai dari pengikisan diakui oleh pemerintah pusat. Pada 5 Juni 2008 lalu, Abu Wenna diundang Presiden SBY ke Istana Negara untuk menerima penghargaan Kalpataru sebagai salah satu tokoh perintis lingkungan hidup.

Penghargaan serupa juga dianugerahkan pada Sriyatun Djupri, ibu rumah tangga dari Kelurahan Jambangan Surabaya yang mempunyai kepedulian tinggi pada kebersihan lingkungan. Saat pertama pindah dari Trenggalek, Sriyatun langsung berhadapan dengan perilaku buruk membuang sampah dan hajat sembarangan ke Kali Surabaya yang sudah membudaya dari warga sekitarnya.

Padahal, air dari Kali Surabaya-lah yang digunakan oleh PDAM Surabaya sebagai sumber bahan baku air bersih untuk warga Surabaya. Sejak 1973, Sriyatun mulai bergerilya memberikan penyuluhan tentang hidup sehat dan bersih ke warga sekitar. Butuh waktu sampai tahun 1986 hingga akhirnya Sriyatun berhasil memotivasi sekitar 1.000 warga yang tersebar di 14 kecamatan sekitar Jambangan untuk menghapus tabiat buruk mereka.

Selanjutnya, Sriyatun pun berhasil menaikkan taraf perekonomian kadernya dari sampah. Lewat berbagai inovasi pengelolaan dan pengolahan sampah, Sriyatun mengubah limbah menjadi barang bernilai ekonomi tinggi. Pupuk kompos, beragam barang kerajinan dari sampah plastik bernilai ekspor, pakan ikan hingga bahan baku jamu menjadi penambah penghasilan kader lingkungan Sriyatun dari ratusan hingga jutaan rupiah per bulan. “Bagi saya, asal mau mengolah sampah dengan baik, selain akan menjadikan berkah juga akan menghasilkan rupiah,” pungkas Sriyatun mantap.

Indahnya Berbagi, Senin, 30 Juni 2008

indahnyaberbagiBanyak orang menganggap masyarakat Indonesia sudah sangat individualis, tak peduli satu sama lain. Bahkan ada yang mengatakan rasa sosial di antara kita sudah berada pada titik nadir. Tentu saja, seberapa pun kadar erosi kepedulian itu, tetap ada orang-orang yang rela berbagi seperti yang dapat disimak di Kick Andy.

Di pedalaman tanah Papua, misalnya, ada kisah pengabdian seorang guru dan seorang dokter yang mengorbankan kehidupan mereka demi penduduk setempat.

Adalah Frederick Sitaung, seorang guru yang pernah kelaparan dan bahkan nyaris dipanah oleh orang tua muridnya. Perjuangan guru asal Toraja, Sulawesi, ini bukan sebatas urusan lokasi sekolah yang terpencil, tapi juga menyangkut kondisi budaya masyarakat dan lingkungan yang sering menimbulkan berbagai masalah bagi keberadaannya sebagai guru.

Di belahan tanah Papua yang lain, tepatnya di Tanah Merah Boven Digul, Merauke, dokter John Manangsang menjalankan tugas sebagai dokter muda selama dua tahun. Minimnya prasarana tidak menyurutkan hati dokter John manangsang untuk memberi bantuan kesehatan kepada masyarakat di sana walaupun banyak operasi bedah yang ia lakukan hanya menggunakan peralatan seadanya.

Pernahkah Anda membayangkan sebuah operasi caesar hanya menggunakan silet yang dibeli di toko kelontong? Dokter John pernah melakukannya.

Demikianlah sekelumit kisah para pejuang hati nurani yang aku rangkum dari acara Kick Andy lewat situs webnya. Mudah-mudahan berguna. Paling tidak, semoga dapat menginspirasi kita untuk turut “menciptakan surga” bagi diri dan sesama.

Meraih Surga dengan Hati

hati1 Mungkin kita tak perlu dulu mengutip hadis Nabi SAW yang terkenal itu soal hati. Ada baiknya kita rasakan saja dulu “detak atau denyut” hati kita masing-masing sebagaimana kita dapat merasakan detakhatinabi jantung dan denyut nadi. Kita juga tak perlu terlalu detail memburu pengertian, definisi, atau wujud hati itu seperti apa lantaran hati bukanlah sesuatu yang dapat diraba secara fisik, bukan juga berupa jantung karena orang yang sakit jantung bukan berarti dia punya “penyakit” di “hatinya”.
Berarti hati di sini merupakan sesuatu yang abstrak, batiniah. Memang, hati lebih dekat pada perasaan yang secara fisik disimbolkan dengan jantung sebagai “rumahnya” daripada dengan akal yang memiliki kedekatan dengan pikiran yang “berumah” di otak. Namun, sebagaimana akal tidak identik dengan otak dan pikiran, hati pun tidak sama dengan jantung dan perasaan. Hati lebih dalam dan luas cakupannya daripada perasaan, sebagaimana akal juga lebih dalam dan jembar jangkauannya daripada pikiran.

“Walah, bikin bingung saja kamu. Lalu bagaimana dengan jiwa dan roh? Dijamin kau bakal nyaho!”

Ya, mbok jangan gitu Mas, jangan membuat aku kecil hati atau sempit pikiran. Aku ini kan orang awam, jadi maklumilah. Ini semua kan sebenarnya merupakan caraku saja untuk mencoba menghayati, merenungi, dan akhirnya memahami diri sendiri. Aku sedang ingin praktik langsung untuk “bicara dengan hati”. Jadi, jangan terlalu dipermasalahkanlah itu semua, hayati saja. Sebenarnya pula, pembedaan atau pemilahan tadi pun boleh saja tidak diikuti. Artinya, bisa saja bila kita hayati bahwa akal atau pikiran ya otak dan hati atau perasaan ya jantung. Dalam kamus pun “mereka” bersinonim dalam pasangan demikian. Begitu pula dari segi bahasa (Indonesia), lewat kamus atau tesaurus, kata “jiwa” juga bersinonim atau merupakan padanan kata dari “roh”. Padahal, jika bicara secara hakikat, jelaslah keduanya beda banget. Untuk jiwa (nafs), mungkin kita masih bisa berpanjang lebar mendefinisikannya berdasarkan pengertiannya dalam Alquran. Namun, untuk roh, jelas-jelas bahwa Allah menyatakan itu merupakan rahasia-Nya. Kita tidak Dia beri tahu melainkan hanya sedikit. Tentu saja yang sedikit bagi Tuhan itu sudah amat sangat banyak sekali bagi kita. Enaknya sih kita berdekat-dekat saja dengan Tuhan biar nanti kita diberi tahu oleh-Nya tentang rahasia diri kita, tentang hati, akal, jiwa, dan roh kita alias segenap rahasia kedirian kita. Kita pun jadi benar-benar mengenal diri kita. Amin.haticintaallah “Halah, itu mah ngeles namanya. Bilang saja kagak sanggup neranginnya.”

Iya deh, ngaku. Dari tadi pun aku dah bilang awam kok mengenai semua ini. Sebenarnya aku hanya ingin bilang bahwa marilah kita semua terjun langsung saja beramal sosial dengan segenap akal, pikiran, perasaan, hati, jiwa, dan roh kita. Ayo, kita nyemplung langsung sebagaimana orang-orang yang suka ditampilkan di acara Kick Andy itu lho. Ini bukan promosiin acaranya Bang Keriting Antik Kumisan itu. Acara itu kan memang udah kondang, beken bin terkenal. Sebab utama ketenaran ini menurutku ya sebagaimana disebut dalam motonya: acara ini memang berusaha “bicara dengan hati”. Orang-orang yang ditampilkan pun rata-rata mereka yang suka berjihad sosial dengan segenap hatinya. Salah satunya sudah kuprofilkan pada posting sebelum ini: bidan Eros. Selanjutnya aku bakalan sering menampilkan orang-orang seperti dia. Mungkin juga mereka yang belum sempat ditampilkan di Kick Andy. Pada umumnya mereka justru orang-orang biasa, orang awam.

view-ijo-154f
Yang pasti, merekalah orang-orang yang berhak mendapatkan surga lantaran telah memaksimalkan dorongan hatinya untuk berkarya nyata memberdayakan diri dan sesama. Jangankan orang-orang seperti mereka, yang aku anggap berhak atas surga itu, orang-orang yang “hanya” hidup terlunta-lunta dan “mati merana karena cinta” saja masih mungkin untuk mati syahid berpahala surga. Syaratnya, mereka tidak melanggar norma agama (zina)––tentu pula dengan cinta yang tulus. Itu yang aku baca dari buku Kisah-Kisah Cinta-Awal Islam (terjemahan dari Penerbit Qisti Press, 2004) karya Iqbal Barakat. Buku ini ditutup dengan kisah tentang Ali ibn Adim dari Bani Asad yang cintanya tak kesampaian dengan Munhilah, wanita sahaya milik para perempuan Bani Abbas. Penghalangnya bukan dari Munhilah, tetapi dari walinya yang justru menikahkannya dengan lelaki lain dari Bani Hasyim. Tak kuat atas derita cintanya ini, Ali pun meninggal dunia. Tak lama sepeninggal Ali, Munhilah menyusulnya, meninggal pula.

hatipatah
Yang menarik dan mengejutkanku, Iqbal Barakat mengakhiri kisahnya itu dengan ungkapan bahwa Ali ibn Adim merupakan orang terakhir yang menjadi korban kisah romantis dan menjadi syahid terakhir (pada kurun waktu awal Islam itu) dalam kisah cinta. Dia pun lalu menutup kesimpulannya itu dengan kutipan ajaran Islam: Barangsiapa jatuh cinta dan menjaga dirinya (dari hal-hal yang dilarang dalam hubungan laki-laki dan perempuan), kemudian mati, maka dia mati syahid!

aac1
Ah, jadi inget Maria di film Ayat-Ayat Cinta yang nyaris mati merana lantaran cinta tulusnya kepada Fahri “kalah” oleh “keberuntungan” Aisyah. Wallahu a’lam bissawab.