you're reading...
Poligami

Aku, Poligami, dan Perang Palestina

israeltrusseranggaza

Maafkan aku bila ketika Palestina dilanda duka, masih saja berasyik-asyik bicara soal diri sendiri dan poligami meski dikait-kaitkan juga ke sana. Sebenarnya sih dari lubuk hati aku ingin sekali memberi kontribusi bagi saudara-saudaraku di Gaza sana. Paling tidak, sedikit donasi, bisa lewat mana saja semisal MER-C yang informasinya sempat aku baca di blog Love and Life.

Namun, ya tanpa kuminta, topik poligami itu terus saja nongol di benakku. Padahal sebenarnya aku ingin fokus pada pembicaraan soal kisah para perempuan perkasa yang amat berkontribusi bagi kehidupan keluarga dan masyarakat pada umumnya. Mereka memang kaum yang kerap dimarginalkan, tetapi sesungguh-sungguhnya Tuhan, di luar “lewat” Adam, hingga kini dan sampai akhir zaman telah menetapkan sunatullah bahwa sumber kehidupan manusia itu mesti melalui makhluk bernama perempuan. Aku tidak bermaksud memperbandingkan mana yang lebih besar peran dan kontribusinya bagi kehidupan, perempuan ataukah laki-laki. Karena selama ini perempuan kerap direduksi peran dan kontribusinya, maka aku hanya ingin bersikap adil saja dengan berusaha mengembalikan semua hak mereka itu dan memaparkan kelebihan-kelebihan mereka.

Salah satu reduksi itu misalnya terjadi dengan adanya kultur patrilineal yang menganggap garis keturunan akan terputus jika tidak ada pemberi benih dari garis keturunan laki-laki. Di Arab atau di Indonesia pun kultur ini terbilang dominan. Padahal, semisal kita mau mengacu pada apa yang disebut sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad SAW, cucu-cucunya, cicit dan seterusnya, itu hanya turun dari seorang Fatimah az-Zahra. Sayyidatina kita ini pun termasuk perempuan perkasa yang amat sangat layak diteladani. Ayahandanya secara pribadi juga “tidak memberi izin” poligami bagi Ali RA, sang menantu suami Fatimah, selagi beliau masih hidup. Nabi SAW sendiri tidak melakukan poligami semasa hidup Khadijah RA.

poligamiyuk

Aduh, kok sampai juga omongan ke poligami. Ya, itu lantaran poligami juga kerap disebut sebagai sarana “penolong perempuan” dengan “menyedekahkan kelebihan laki-laki”, baik dalam hal materi, kedudukan, dll, termasuk urusan libido (he he he). Jadi, poligami amat berpotensi untuk “menolong” janda-janda tua dan muda, anak-anak perempuan yatim dan yang bukan yatim dari “kemalangan” mereka. Secara statistik, jumlah “mustahik poligami” ini terus meningkat dan amat tidak berimbang dengan jumlah “pasokan pria kandidat poligamis”. Terutama jika terjadi perang seperti yang melanda Palestina. Bakal banyak janda dan anak-anak perempuan yatim (piatu). Kalau berstatus yatim, berarti dua sasaran poligami tersedia, sang ibu dan anaknya. Kalau yatim piatu, berarti cuma satu sasarannya, ya si anak perempuan yatim-piatu itu.

Pertanyaannya kemudian, apa ya “masih sempat” kalau memang mau menolong mereka, libido kita bicara: menuntut dan memilih jalan poligami? Menurutku, prioritaskan saja dulu untuk menolong mereka setulus-tulusnya. Lalu, jika selanjutnya ada “kesempatan” untuk juga berpoligami dengan mereka, ya, itu terserah kebijakan pertimbangan akhlak kita saja. Sok, silakanlah kalau mau berpoligami ke Palestina sana. Tapi ya berjihad dengan harta dan jiwa dulu di medan perang membara itu. Baru kalau takdir masih memihak kita dengan kocar-kacirnya Israel dan kita sendiri gak “mati syahid”, mudah-mudahan masih ada kesempatan untuk “hidup syahid” berpoligami di Palestina. Sungguh, ini ungkapan tulus dariku meski mungkin terasa sinis. Ini semata-mata karena kelemahanku saja.

About Bahtiar Baihaqi

Sekadar ingin berbagi, dari orang awam, untuk sesamanya, orang awam pula dan mereka yang prokeawaman.

Diskusi

Satu respons untuk “Aku, Poligami, dan Perang Palestina

  1. Amankan dulu Pertamaxxx
    Wah Poligaminya jauh juga . satu aja cukup
    Motivator Semarang

    Posted by ILYAS AFSOH | Mei 12, 2016, 8:27 am

Tinggalkan komentar