you're reading...
Poligami

Antara Poligami dan Haji

poligami1

Sebenarnya ini agak sensitif. Namun, mumpung masih dalam suasana hajikakbah1haji lantaran baru saja usai, aku mau numpang bicara soal poligami dan mengaitkannya dengan haji––maksa banget ya. Tapi, kan banyak haji yang berpoligami.pakhaji

“Hidup, Bang Haji (Rhoma)!”pakhajirhoma

“Judiiiii…” eh, kok keterusan. Nyanyi sonetanya nanti aja.

Sebelum lebih jauh bicara mengenai topik ini, terlebih dulu harus aku katakan bahwa aku termasuk orang yang setuju atas pendapat bahwa poligami itu halal, boleh. Sesempit apa pun celah untuk itu, kita tidak boleh menutupnya sama sekali dan biarkan selamanya begitu, baik nanti bakal kita lalui (memilih berpoligami) atau tidak (tetap bermonogami). Pendapat demikian antara lain dikemukakan oleh Quraish Shihab.mengapanabipoligami

Kemudian, kita semua tentu tahu, bahkan paham, bahwa ibadah haji adalah puncak ibadah seorang muslim yang wajib hukumnya bagi mereka yang sudah mampu (secara materi maupun nonmateri, lahir-batin). Soal syarat kemampuan ini pun bukan monopoli ibadah haji, poligami pun mempersyaratkan hal yang sama: hanya layak dilakukan oleh mereka yang memang mampu lahir batin dan terutama mampu bersikap adil. Namun aku tidak ingin lebih jauh membahas soal keadilan ini. Aku hanya mau menyoroti soal akhlak yang merupakan hal melekat yang harus selalu ada dalam setiap gerak hati, pikiran, dan perbuatan kita. Tak terkecuali dalam berpoligami dan berhaji, kita mesti mempertimbangkan akhlak. Bukankah kehadiran Rasulullah ke muka bumi ini memiliki misi untuk menyempurnakan akhlak manusia? Innama bungistu liutammima makarimal akhlak (hadis)––sesungguhnya aku (Nabi Muhammad SAW) diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak manusia. Kurang lebih artinya begitu. semuliaakhlaknabi

Secara fikih, kewajiban haji itu hanya satu kali seumur hidup. Maka, pertimbangkanlah bijak-bijak jika kita hendak berhaji kedua, ketiga dan seterusnya. Masih banyak saudara-saudara kita yang belum kebagian jatah kuota haji, masih harus masuk daftar tunggu. Lalu, yang bahkan lebih wajib menjadi pertimbangan adalah apakah di sekitar kita tidak ada orang yang kelaparan, didera kemiskinan, dan sejenisnya sehingga mereka lebih membutuhkan harta kita yang sedianya untuk berhaji itu? Untuk haji yang pertama kali sekalipun kita mesti mempertimbangkan hal-hal demikian, apalagi yang kedua, ketiga, dst.

Nah, jika dalam hal haji saja yang sudah jelas-jelas kewajiban dan keutamaannya kita masih harus berbijak-bijak mempertimbangkan akhlak, apalagi dalam hal poligami. Masak sih kita sekadar bersandar pada alasan fikih: “Lho, poligami kan memang halal. So, tak jadi soal kan kalau aku berburu gadis ayu untuk meredam nafsuku? Daripada berzina, mending memanfaatkan kemurahan Tuhan atas diriku yang telah melimpahkan banyak rezeki dan menganugerahkan ruang untuk berpoligami.”?

Aku kira, pendapat awamku soal poligami (dan haji) cukup berpijak pada sisi akhlak tadi. Namun, biar berimbang, sisi akhlak atau pertimbangan berbijak-bijak juga mesti diterapkan pula oleh mereka yang tidak setuju atas poligami atau bahkan yang antipoligami. Sebagai ilustrasi, aku “pinjam” saja kasus yang melibatkan seorang laki-laki yang kebetulan mendapat nama panggilan Syekh Puji. Tak usah aku perdetail informasinya pun pasti semua orang di Indonesia ––eh, nyaris semua ding––mengetahuinya.syechpuji1

Jelaslah bahwa seorang Syekh Puji pun wajib mempertimbangkan akhlak dalam berpoligami. Aku sendiri tidak tahu persis apakah dia sudah melakukan itu atau belum. Agaknya sih belum. Minimal belum seluruhnya dipenuhi, masih kalah dominan oleh pertimbangan nafsunya.

Meski demikian, para pengecam, pengkritik maupun pembimbing/pelurusnya (semisal Kak Seto) harus pula mempertimbangkan akhlak dalam beramar makruf nahi munkar atau sekadar dalam kerangka saling mengingatkan menyangkut hal-hal yang hak dan perihal kesabaran (watawassaubilhaqqi-watawassaubishobri). Bahwa ada pelanggaran undang-undang menyangkut pernikahan di bawah umur dll, itu semua tidak boleh menghilangkan “pertimbangan bijak-akhlak”.kakseto

Maksudku begini, dalam kasus Syekh Puji. Bahwa Syekh Puji patut ditegur dan diluruskan lantaran “kurang berakhlak” dalam poligaminya dengan anak kecil itu, jelaslah sudah. Namun, jangan korbankan nasib anak kecil itu. Jangan bikin kolam hidupnya jadi keruh. Pertimbangkanlah posisi sosialnya. Bisa jadi dia memang dibesarkan dalam masyarakat yang materialistis sehingga mimpi masa depan dalam gelimang hidup enak berharta amat dominan dalam ruang kediriannya. Ia kurang paham soal “dunia lain” yang diidealkan oleh orang-orang yang lebih berpendidikan dan lebih mapan kehidupan keberagamaannya. Ia belum paham soal harkat dan martabat perempuan yang mesti diupayakan melalui jenjang pendidikan yang memadai dst. Ia juga belum paham soal menjadi anak salehah, wanita mukminah ideal dan sejenisnya. Sangat boleh jadi, ia hanya paham soal meraih kesempatan hidup bahagia di depan mata (bersama Syekh Puji) yang juga akan dapat “mengakhiri nasib sengsara” keluarganya. Jika benar demikian, tentu akan sangat ceroboh dan bahkan berbahaya bagi sang anak apabila kita memaksakan dengan serta-merta ingin mengubah hidupnya dalam ukuran-ukuran “peradaban kita”. Walah, kok, susah begini ngomongnya. Maklumlah, masih belajar nulis.

Kan bakal sangat ironis kalau anak kecil itu jadi bingung dan malah tersiksa. “Lha wong aku dah seneng-seneng kok hidup sama Bang Puji, kok orang-orang malah ramai-ramai mau mengembalikanku ke dunia yang ingin kujauhi, dunia yang serbaterbatas bersama orang tuaku. Sekolah juga gak jamin nanti aku hidup bahagia. Nah, ini, di rumah Bang Puji, apa-apa tinggal ambil atau minta saja. Ke mana-mana pakai mobil, diantar sopir. Mau menuntut ilmu apa saja juga bisa. Tinggal panggil guru. Beli buku apa pun gampang. Semua serbamudah deh. Gak mau aku hidup sengsara lagi.” Nah lo.

Aku kira sih poin intinya dah kukemukakan. Mudah-mudahan dapat dipahami. Sebagai “bonus”, aku tambahkan “reviu”-ku soal poligami Aa Gym dulu, berikut ini.

Poligami (Aa) menurut Orang Awamaapolicover

Ini sekadar pendapat saja dari seorang awam, bukan ahli, tentang poligami. Meski awam, saya ini laki-laki sehingga tentu saja dari sudut nafsu kelelakian, saya pasti “menghendaki” poligami. Lagipula, dari sisi formal agama Islam, saya termasuk yang setuju bahwa sesempit apa pun pintu poligami, memang ada celah yang terbuka untuk memasukinya. Hanya saja, dari berbagai sudut lain, kita memang tak lantas bisa dengan seenaknya saja memasuki pintu itu.

Adalah menarik ketika seorang penulis coba memperbandingkan dua aagym2cintadunia berbeda dengan pelakon yang sama-sama terkenal tentang rumah tangga poligami. Yang pertama dari dunia nyata, yang kedua dari dunia fiksi. Dari dunia nyata itu ada tokoh terkenal Aa Gym dengan cinta segitiga bersama Teh Ninih dan Teh Rini. Dari dunia fiksi ada yang baru saja menjadi amat beken, yaitu Fahri, tokoh utama novel dan film Ayat-Ayat Cinta (AAC), dengan jalinan asmara segitiga bersama Aisyah dan Maria. Berikut ini sekilas perbandingan yang dia buat, yang juga dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan jawaban mengapa poligami Aa ditolak dan diributkan (oleh sebagian banyak) masyarakat, sedangkan poligami Fahri ditoleransi.aac

Pertama, poligami Fahri dilakukan atas permintaan istri pertama dan tanpa ditutup-tutupi, sementara poligami Aa baru dipublikasikan setelah tiga bulan usia pernikahannya (meskipun menurut Aa istri pertama sudah tahu) dan ada usaha untuk menutupinya dari sorotan media.

Kedua, poligami Fahri karena niat suci untuk menolong menyelamatkan nyawa seorang gadis yang tergila-gila kepadanya, sementara poligami Aa terkesan untuk “menolong” dirinya sendiri dari perbuatan zina.

Ketiga, setelah berpoligami Fahri justru takut dirinya tidak bisa berbuat adil terhadap kedua istrinya, bahkan dia sempat curhat kepada temannya. Padahal, Fahri adalah seorang mahasiswa Al-Azhar yang sudah menyelami samudra ilmu agama yang sangat dalam. Adapun Aa, setelah berpoligami, berusaha meng-counter para pendemonya dengan menyatakan bahwa mereka yang meributkan poligaminya adalah orang yang kurang ilmu, seakan-akan Aa menyatakan bahwa dirinya sudah “pasti bisa adil” karena sudah punya ilmunya.

Sang penulis yang mengaku sebagai adik kelas Kang Abik (Habiburrahman el-Shirazy, pengarang novel AAC tersebut) di Universitas Al-Azhar pun berkesimpulan bahwa AAC (dalam hal ini terutama versi filmnya yang membuat AAC jadi fenomena) mampu menyajikan poligami yang sebenarnya masih kontroversi dengan kondisi yang manusiawi sehingga dapat diterima oleh orang yang antipoligami sekalipun. Inilah menurutnya dakwah bil hikmah (dengan cara yang bijak) sehingga mampu memasukkan inti tanpa menimbulkan riak-riak yang berarti.

Padahal, AAC versi filmnya lebih menonjolkan sisi poligami itu dibandingkan versi novelnya. Hal itu antara lain sempat dipertanyakan Ketua MPR Hidayat Nurwahid saat menerima kedatangan sang sutradara film AAC Hanung Bramantyo. Namun, ternyata masyarakat tak menghebohkannya.

Itulah, menurut saya, keberhasilan pengambilan keputusan berpoligami secara bijak (bil hikmah). Itu pula yang seharusnya dijadikan panduan.


Komitmen Cinta yang Bijak

Selanjutnya, saya ingin mengajak kita, para laki-laki beristri, untuk berefleksi atas komitmen cinta kita. Komitmen cinta, sebuah kata atau substansi makna yang menjadi titik pijak AAC, yang dalam kehidupan sehari-hari kita juga bertebaran ayat-ayat sejenis itu (cinta dan kasih sayang).

Agama Islam menandaskan bahwa salah satu pijakan yang mesti kita jadikan landasan dalam hubungan kita dengan diri sendiri, dengan sesama, dan dengan Sang Pencipta adalah cinta. Artinya, secara umum, baik dalam hablumminallah maupun hablumminannas, kita disuruh Allah untuk melandasinya dengan cinta, cinta sejati. Cinta yang makin hari makin berkualitas, bukan malah semakin menjadi basa-basi.

Saya tidak hendak masuk secara teknis pada persoalan cinta. Sebaliknya, mencoba langsung menghayatinya dalam praktik kehidupan kita. Ada berbagai orang tua di dunia ini, misalnya, yang harus menerima ketetapan Tuhan untuk memiliki anak-anak yang punya keterbatasan semisal cacat fisik atau cacat mental. Namun, ternyata, beberapa di antara mereka ada yang sukses menerima kondisi itu dengan kasih sayang yang tulus, dengan kepasrahan cinta yang kreatif untuk berdamai dengan keadaan, menyesuaikan diri dengan kondisi itu, dan coba menyiasatinya. Pada akhirnya, para orang tua itu sukses membesarkan anaknya menjadi anak yang berprestasi. Kisah-kisah nyata demikian sudah banyak dibukukan. Di antaranya kisah mengenai seorang ibu dari Korea Selatan yang mampu membesarkan anaknya yang terlahir hanya dengan empat jari dan kaki sebatas lutut serta punya keterbatasan mental hingga menjadi pianis terkenal yang mampu memainkan musik klasik dari karya Mozart hingga Chopin. Ada pula kisah serupa tentang seorang ibu dari Jepang yang juga mampu mendidik anaknya yang terlahir buta dan hanya memiliki berat 80gr menjadi anak yang punya banyak prestasi. Seorang ayah, Neil Kauffman, dan istrinya dari Jerman juga berhasil melampaui keterbatasan anaknya yang terlahir autis hingga mampu mengantarkan sang anak menjadi arsitek terkenal kala dewasa. Kauffman pun menuliskan sendiri pengalamannya itu menjadi buku Son Rise.

Begitu membanggakannya kisah keberhasilan mereka, keberhasilan atas nama cinta. Padahal, tak akan ada yang mempersoalkan mereka seandainya saja mereka memutuskan untuk mengabaikan saja anak-anak mereka itu. Tentu dengan cara-cara sedemikian rupa sehingga masyarakat pun tidak curiga.

Kemudian, timbul pertanyaan, tidak bisakah komitmen cinta terhadap para istri kita wujudkan dalam kesungguhan yang demikian? Sebagaimana kesungguhan cinta pada anak-anak kita? Bukankah anak-anak itu lahir dari rahim para istri? Begitu mudahkah kita mengganti haluan cinta kita saat kita berjaya atau membaginya buat perempuan lain dalam wadah poligami?tigaanakhasilnikah

Kenyataannya, kita memang kerap menjadikan dambaan kita atas kehadiran seorang anak sebagai “segala-galanya” sehingga seorang istri yang mandul atau yang kita anggap mandul kita abaikan dengan serta-merta mengambil perempuan lain sebagai penyemai benih kita, demi mendapatkan anak. Padahal, yang mesti mati-matian dikejar adalah terciptanya keluarga sakinah meski tanpa kehadiran anak. Lagipula, masih banyak anak lain, anak-anak yatim yang butuh perhatian dan keberlebihan harta kita. Belum lagi para fakir miskin sesama kita yang juga butuh uluran tangan kepedulian. Begitu egoistiskah kita untuk sekadar memuaskan nafsu syahwat sendiri?

Mungkin kita masih bisa berkelit bahwa semua bentuk kepedulian terhadap sesama itu telah kita tunaikan. Karena itu, kita merasa punya hak untuk sebuah kesenangan berupa poligami. Jadi, apanya yang perlu dipersoalkan? Demikian barangkali mekanisme pertahanan dalam benak kita.

Sekali lagi perlu ditekankan bahwa saya termasuk orang awam yang setuju atas terbukanya celah pintu bagi poligami. Namun, hal itu hendaknya ditimbang-timbang secara bijak dulu sebelum diputuskan untuk dilaksanakan. Akan kita abaikan begitu sajakah keberadaan “istri tua” kita? Di manakah komitmen cinta kita kala akad nikah dulu? Akad yang getarannya mampu dirasakan oleh segenap penghuni bumi. Bahkan, singgasana Tuhan pun ikut bergetar. Lantas, semudah begitu sajakah kita jadi ingkar?akadnikah2

Bahtiar Baihaqi, Rakyat awam penggagas awamologi

About Bahtiar Baihaqi

Sekadar ingin berbagi, dari orang awam, untuk sesamanya, orang awam pula dan mereka yang prokeawaman.

Diskusi

2 respons untuk ‘Antara Poligami dan Haji

  1. Salam kenal..!

    => Oke deh, makasih.

    Posted by Blog Cantik | Desember 13, 2008, 8:01 am
  2. judul yang menarik
    para pria harus membacanya nich biar mikir dikii….t aja sebelum bertindak.
    salam kenal juga nih.

    =>Komen fera juga menarik. Menarik untuk saling kenal, he he he.

    Posted by fera | Desember 14, 2008, 8:59 pm

Tinggalkan komentar