archives

Awamologi

This category contains 35 posts

Sudahlah, Saya Mengalah!

Ya, begitulah, akhirnya saya pun mengalah untuk tidak terus-menerus memikirkan apa yang pantas ditulis dan bagaimana menuliskannya sehingga layak untuk menjadi postingan di blog ini. Pasalnya, kalau terus demikian, takkan kunjung ada yang tertuliskan. Tak perlu menunggu sesuatu itu sempurna untuk dituliskan. Ya, tulis saja.

Saya jadi teringat kata-kata Bung Dodi Mawardi yang pernah dikutip di blog ini juga bahwa menulislah seperti kita bernapas, menulislah seperti menghirup udara segar setiap saat. Itu berarti menulislah terus-menerus tanpa henti sampai kita mati. Artinya pula kalau berhenti menulis, berarti kita juga mati, mati rasa, hehe.

Akhirnya pula saya mengalah untuk memulai (lagi) dan kalau bisa membiasakan diri langsung menulis di blog agar bisa selancar teman-teman semisal MT yang sudah terbiasa melakukannya. Dengan begitu kita bisa cepat menghasilkan tulisan, tanpa terbebani harus selalu bagus hasilnya. Yang penting bukan tulisan “sampah” yang bisa membahayakan kesehatan diri kita.

Ya, “Menulis, menulis dan menulis. Hanya dengan cara ini, otak akan selalu terjaga dan hati pun selalu berzikir. Ingat pada Yang Maha Kuasa, yang melimpahkan rahmat-Nya ke semesta alam. Agar kita amati, pelajari dan manfaatkan untuk kebaikan. Dengan tulisanlah, semua itu terikat kuat sampai generasi mendatang.” Kata-kata dari Dodi Mawardi itu akan terus menggetarkan saya untuk terus menulis.

Memang mengalah, apalagi untuk hal positif seperti menulis, bukan berarti kalah. Mengalah untuk menang, sebuah ungkapan klise yang agaknya masih berguna untuk menyemangati diri.

Menulis Puisi? 

Kalau bicara soal tulis-menulis memang seperti tiada habis-habisnya karena memang menulis itu sesuatu yang bermanfaat dan manfaat dari menulis itu banyak sekali serta tak terbantahkan kebenarannya, jadi lebih baik mulai saja menuliskan apa yang  tebersit untuk dituliskan saja.

Sampai saat ini, saya kok masih penasaran sama “makhluk” bernama puisi. Meski saya tidak betul-betul paham mengenai apa itu puisi serta tidak benar-benar bisa menulis puisi, rasanya kok tetap asyik menyimak-nyimak puisi dan mengangan-angankan untuk mengungkapkan sesuatu dalam bentuk puisi. Apakah itu berarti puisi dan berpuisi itu sesuatu yang manusiawi dan alamiah? Bisa jadi demikian.

Ah, nanti dilanjutkan lagi ya, saya mesti berkemas pulang. Tulisan ini dibuat selepas jaga warung dan kebetulan pekerjaan molor, jadi ya saya telat pulangnya. (Bersambung)

 

Kehilangan Orang Baik (Sekelumit Kenangan atas Prof. Sjafri)

Ketika satu orang baik meninggal, dunia pun muram dibuatnya. Kala si durjana meninggal, dunia pun lega. Namun, bagi orang-orang terdekat, kematian siapa pun tetaplah meninggalkan kesedihan mendalam.

Masalahnya, kematian adalah keniscayaan bagi semua makhluk hidup. Hakikatnya, setiap kita tinggal tunggu waktunya. Maka, setiap kematian mestilah menjadi pengingat setiap diri ini untuk selalu bersiap-siap. Termasuk bersiap-siap, bagi yang ditinggalkan, untuk mengelola kesedihan agar tidak berlarut-larut.

Ah, itu kan omongan orang yang masih hidup, orang yang belum merasakan kehilangan orang-orang terdekat. Baca lebih lanjut

Anda Tuhan atau tuhan?

Tuhan (dengan T besar dan tanpa tanda kutip) di balik jeruji. Itu kenyataannya, bukan “Tuhan” atau tuhan. Sebab, mestinya, tuhan-lah yang kita kerangkeng atau lebih baik lagi kita lenyapkan. Bukankah kita ini sekadar hamba Tuhan yang kalaupun punya kedudukan tinggi, tak kurang dan tak lebih hanyalah sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini? Jadi, tak layaklah kita menuhan-nuhankan diri. Namun, kenyataannya? Baca lebih lanjut